Nama: Rizki Agung P.
Dosen Pembimbing : Nanang Suryadi
Pelanggaran Etika Pemasaran
Kasus 1
Salah satu contoh problem etika bisnis yang marak pada tahun kemarin
adalah perang provider celullar antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali
kita melihat iklan-iklan kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel)
saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif sendiri. Kini
perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung tak
tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar. Bintang iklan
yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang sekarang sedang naik
daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Dengan kurun waktu yang
tidak lama TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Kartu AS
meluncurkan iklan baru dengan bintang sule. Dalam iklan tersebut, sule
menyatakan kepada pers bahwa dia sudah tobat. Sule sekarang memakai
kartu AS yang katanya murahnya dari awal, jujur. Perang iklan antar
operator sebenarnya sudah lama terjadi. Namun pada perang iklan
tersebut, tergolong parah. Biasanya, tidak ada bintang iklan yang pindah
ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun
pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih diputar di Televisi,
sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan menggunakan
bintang iklan yang sama
Analisis:
dalam hal ini kedua pihak operator telah melanggar etika dalam pemasaran. Diamana keduanya telah menampilkan iklan yang saling menjatuhkan dan mengejek produk kompititor. Padahal dalam iklan pemasaran tidak diperkenankan untuk hal tersebut. Bahkan aturan tersebut juga telah tercantum dalam undang- undang periklanan.
Kasus 2
Belajar Dari Kasus Iklan Klinik Tong Fang
August 9, 2012 at 10:24am
Pada
rapatnya di bulan November 2011, Badan Pengawas Periklanan (BPP) P3I
telah menemukan satu kasus iklan Traditional Chinese Medication (TCM)
yaitu iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I saat itu menilai bahwa iklan
tersebut berpotensi melanggar Etika Pariwara Indonesia, khususnya
terkait dengan: Bab III.A. No.2.10.3. (tentang Klinik, Poliklinik dan
Rumah Sakit) yang berbunyi: “Klinik, poliklinik, atau rumah sakit tidak
boleh mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun” dan Bab
III.A. No.1.17.2. (tentang Kesaksian Konsumen) yang berbunyi: “Kesaksian
konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa
maksud untuk melebih-lebihkannya”.
Pada iklan Cang Jiang
Clinic tersebut ditampilkan pemberian diskon (30%) bagi pembelian obat
serta ditampilkan pula beberapa kesaksian konsumen mereka yang sangat
tendensius melebih-lebihkan kemampuan klinik tersebut serta bersifat
sangat provokatif yang cenderung menjatuhkan kredibilitas pengobatan
konvensional.
Untuk memastikan adanya pelanggaran
tersebut, maka BPP P3I telah mengirimkan surat kepada Persatuan
Rumah-Sakit Indonesia (PERSI) dan mendapatkan jawaban bahwa PERSI
sependapat dengan BPP P3I sehingga pada bulan Maret 2012, BPP P3I telah
mengirimkan surat himbauan kepada KPI untuk menghentikan penayangan
iklan tersebut.
Masalah Cang Jiang Clinic ini belum
tuntas, ketika lalu muncul iklan Tong Fang Clinic yang jauh lebih gencar
(dan ditayangkan di lebih banyak stasiun televisi dan dengan frekuensi
yang jauh lebih sering). Isi pesan iklannya sangat mirip dengan iklan
Cang Jiang Clinic. BPP P3I kemudian melayangkan surat himbauan yang
senada kepada KPI pada bulan Juli 2012.
Sepanjang bulan
Juli 2012, iklan Tong Fang Clinic ternyata sangat ramai menjadi
pergunjingan masyarakat umum; baik melalui media-media sosial maupun
pengiriman SMS dan Blackberry Messenger. Bahkan, kata kunci “Tong Fang”
sempat menjadi topik yang paling sering disebut (‘trending topic’) di
twitter, bukan saja di area Indonesia, tapi di seluruh dunia (lintas.me,
6 Agustus 2012).
Dari sudut ilmu komunikasi, bisa saja
orang lalu menilai bahwa klinik tersebut telah mendapatkan tingkat
‘awareness’ yang sangat tinggi. Hal tersebut memang tidaklah dapat
dibantah. Jutaan kicaun masyarakat tersebar di berbagai jenis media
terkait dengan iklan klinik tersebut. Tapi, mari kita coba lihat isi
dari beberapa kicauan tersebut (dikutip dari beberapa posting di
twitter).
> Dulu muka saya ada jerawat satu, seteleh ke klinik Tong Fang muka saya jd bnyak jerawat.Trimakasih TongFang
>
Dulu pacar saya di rebut orang, namun setelah saya ke klinik TongFang
sekarang saya jd rebutan pacar orang, terima kasih TongFang
> Dulu saya Raja Dangdut, setelah ke Klinik Tong Fang kini saya jadi Raja Singa. Terima Kasih Tong Fang
>
Dulu saya dipanggil anak SINGKONG. Setelah Konsul ke Klinik Tong Fang
skrg saya dipanggil anak KINGKONG. TerimaKasih TongFang
>
Dulu Kakak PEREMPUAN sy slalu telat ke KAMPUS, setelah 5 kali ke Klinik
Tong Fang skarang Kakak sy TELAT 3 bulan, Trims Tong Fang
>
Sudah 3thn sy menderita SAKIT kepala sebelah. Setelah sy berobat ke
klinik Tong Fang, kini kepala saya TINGGAL sebelah.TerimaKasih TongFang
> Dulu saya bau KAKI, setelah 3X ke Klinik Tong Fang, sekarang klinik mereka BAU kaki saya. Mohon Maaf Tong Fang
MATA sya slalu MERAH krn sring naek mtor, smnjak ke klinik TongFang MOTOR sya HILANG jd mata sya sdh tdk merah lgi.Thx TongFang
> Dlu saya tdk tau tong fang,stelah bnyk BM tong fang, BB saya semakin menjadi sampah
Di
twitter juga muncul banyak akun baru yang sekedar bertujuan untuk
mengakomodasi lelucon tentang “Tong Fang”. Misalnya: akun
@KlinikTongfang dengan 15.218 pengikut dan @KliinikTongFang dengan
61,091 pengikut (data pengikut/’follower’ terhitung tanggal 9 Agustus
2012) serta banyak akun lainnya. Padahal akun-akun itu usianya belum
lebih dari 2 bulan.
Apakah kicauan masyarakat tersebut
sebenarnya hanya sekedar ‘iseng’ dan semacam jadi ‘lomba kreatifitas’
mereka saja? Saya sangat percaya bahwa bukan itu permasalahannya.
Tidak
perlu menjadi seorang pakar komunikasi untuk memahami bahwa dibalik
lelucon-lelucon yang dikreasikan oleh berbagai kalangan masyarakat, ada
satu pesan penting yang ingin disampaikan oleh masyarakat terhadap iklan
Tong Fang Clinic: IKLAN ITU SENDIRI ADALAH SATU LELUCON BESAR!!
Suatu
iklan (dari produk apapun juga), pastilah mengandung unsur JANJI dari
si pengiklan kepada khalayak yang disasarnya. Sungguh sangat disayangkan
bahwa ternyata janji yang ditawarkan oleh iklan Tong Fang Clinic
dinilai tidak lebih dari sekedar lelucon! Dan, tidak perlu berpikir
terlalu mendalam untuk memahami bahwa dibalik ‘lelucon’ yang ada dalam
iklan tersebut, masyarakat menilai ada KEBOHONGAN BESAR.
Dalam
konteks ini, tingkat ‘awareness’ yang tinggi dari iklan Tong Fang
Clinic sebenarnya malah memberikan dampak yang sangat negatif terhadap
citra dari klinik itu sendiri. Cukup mengherankan bahwa pihak klinik
Tong Fang tidak segera melakukan koreksi, bahkan terkesan
‘santai-santai’ saja (baca Merdeka.com, 9 Agustus 2012 08:06:00:
“Diolok-olok di Twitter, ini jawaban klinik Tong Fang”). Beberapa
pemilik akun twitter bahkan sudah ada yang sampai tingkat ‘marah’ karena
mereka sangat memahami bahwa olok-olokan tersebut sangat menjatuhkan
citra klinik Tong Fang. Dan lebih parahnya, dapat dengan sangat mudah
diprediksi, citra ini akan merembet kepada seluruh klinik tradisional
Cina (TCM).
Tekanan terhadap kasus di atas tidak saja
datang dari masyarakat. Pemerintahpun akhirnya harus turun tangan..
Misalnya: Merdeka.com pada 9 Agustus 2012 06:47:00 mengangkat artikel
“Dinas Kesehatan DKI larang iklan Klinik Tong Fang” dan Okezone.com pada
8 Agustus 2012 23:46 mengangkat artikel “DPR Soroti Praktik Klinik Tong
Fang”.
Bila saat ini masyarakat (dan pemerintah) jadi
tidak percaya kepada iklan klinik Tong Fang, siapakah yang akan
dirugikan? Pertama-tama mungkin memang hanya akan berdampak pada klinik
Tong Fang dan TCM lainnya. Tapi, dampak ini bila sampai tidak diatasi
dengan segera, akan membuat industri klinik tradisional Cina tidak
dapat berkembang, akibatnya mereka tidak lagi bisa beriklan. Di titik
ini, media massa akan merasakan dampaknya pula.
Sangat
disayangkan bahwa media-massa (khususnya televisi) mengabaikan himbauan
dan teguran yang telah disampaikan oleh KPI untuk menghentikan
iklan-iklan TCM yang provokatif tersebut sejak April 2012 (lihat www.kpi.go.id
pada menu Imbauan, Peringatan dan Sanksi). Stasiun TV hanya berpikir
jangka-pendek mengeruk dana iklan secepat-cepatnya padahal bila iklan
tersebut justru akan ‘mematikan’ pengiklannya, maka stasiun TV akan
kehilangan pendapatan di masa depannya.
Secara tidak
langsung, keprihatinan masyarakat atas kasus ini seharusnya menjadi
keprihatinan untuk seluruh kalangan periklanan dan komunikasi pemasaran
pada umumnya juga. Kasus ini menambah panjang daftar materi komunikasi
(iklan) yang dinilai “bohong” oleh masyarakat umum. Citra materi
komunikasi (iklan) tercemar dengan adanya kasus ini.
Kitab Etika Pariwara Indonesia (dapat bebas diunduh di www.p3i-pusat.com/epi) dengan tegas telah mencantumkan 3 asas penting dalam membuat karya iklan; yaitu:
Iklan dan pelaku periklanan harus :
- Jujur, benar, dan bertanggungjawab.
- Bersaing secara sehat.
- Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Tujuan
dari penetapan asas tersebut adalah untuk melindungan industri
periklanan agar tetap dapat dipercaya oleh konsumen/masyarakat. Iklan
bukanlah ‘barang haram’. Iklan dapat memberikan banyak keuntungan bagi
masyarakat bila ia disampaikan dengan isi dan cara yang etis.
Banyak
pihak menyatakan bahwa tidaklah mudah membangun citra yang positif dari
suatu produk/merek. Butuh tahunan, bahkan puluhan tahun untuk membangun
suatu merek agar dapat diterima dengan positif oleh konsumen. Dan
sekali citra tersebut terkoyak, akan jauh lebih sukar lagi untuk
mengangkatnya kembali. Bahkan, cukup satu kasus sederhana untuk
‘mematikan’ satu merek.
Seluruh komponen yang terkait
dengan materi promosi/periklanan sepantasnya mendukung sepenuhnya
penegakkan etika periklanan di Indonesia demi menjaga agar industri ini
tetap dipercaya oleh masyarakat. Tanggung-jawab penegakkan etika ini
bukanlah sekedar berada di tangan produsen/pengiklan dan
biro-iklan/promosi mereka saja. Rumah produksi iklan dan media-massa
juga berkewajiban mendukungnya. Rumah produksi dan media-massa harus
ikut bertanggung-jawab bila mereka membuat dan menayangkan suatu produk
iklan/promosi yang tidak etis.
Kasus ini seharusnya
menjadi keprihatinan dari seluruh khalayak pemerhati komunikasi
pemasaran. Masyarakat kita yang sangat majemuk sudah semakin pandai
menilai etis atau tidaknya suatu pesan pemasaran. Sudah bukan jamannya
lagi mempromosikan segala sesuatu sebagai “kecap nomor 1”. Herannya,
sampai dengan saat ini, masih ada iklan Tay Shan TCM!!
Analisis:
dalam hal ini klinik TCM sudah jelas- jelas menyalahi Etika bahkan Undang- Undang. sebenarnya dalam undang- undang telah dijelaskan bahwa penyedia jasa kesehatan tidak diperkenankan untuk melakukan iklan termasuk Rumah Sakit, klinik, puskesmas dan penyedia jasa kesehatan lainnya. Bahkan dalam Iklan tersebut terdapat kesaksian konsumen yang dirasa kurang realistis dan cenderung melecehkan pengobatan konvensional. Semua aturan itu telah dilanggar oleh TCM tersebut. sehingga secara teknis klinik TCM tersebut sudah dengan jelas melanggar etika pemasaran.
KASUS PRODUKSI
Kasus 1
Perjalanan obat nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT
Megasari Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk seperti tisu basah,
dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan
dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh untuk kelasnya.
Selain di Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia.
Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur
dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur
dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap
manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah
melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang
menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan
syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker
hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata
sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga
Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang
penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya
yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang).
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari
Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni
2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami
pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang
baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Analisis:
Dalam hal ini produk HIT telah di uji lab oleh BPOM dan hasilnya positif produk ini menggunakan bahan kimia berbahaya yang dapat membuat nyawa konsumen melayang. Produk ini menggunakan bahan kimia yang sangat keras dan mematikan dalam produk pestisidanya.
Kasus 2
Kasus 2
BPOM Sita Kosmetik Ilegal Mengandung
Obat Terlarang
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO
--- Bahan kosmetik yang disita BPOM Semarang di Purwokerto, Rabu (15/5),
diperkirakan mengandung obat terlarang.
Kepala
BPOM Semarang, Dra Zulaimah MSi Apt, menyebutkan hasil uji laboratorium krim
kecantikan yang disita dari satu satu rumah produksi di Kompleks Perumahan
Permata hijau tersebut, memang masih belum selesai.
''Tapi
dari daftar bahan baku yang sudah disita, kosmetik tersebut kami perkirakan
mengandung berbagai jenis obat-obat keras yang peredarannya sangat kami
batasi,'' kata Zualimah, saat ditelepon dari Purwokerto, Kamis (16/5).
Bahkan
baku yang dipergunakan sebagai bahan baku krim tersebut, antara lain berupa
Bahan Kimia Obat (BKO) seperti obat-obatan jenis antibiotik, deksametason,
hingga hidrokuinon. ''Kami belum tahu, apakah obat-obatan BKO tersebut,
dimasukkan dalam krim kosmetik atau tidak, karena masih dilakukan penelitian.
Namun untuk bahan kimia hidrokuinon, kami perkirakan menjadi salah satu bahan
utama pembuatan kosmetik,'' jelasnya.
Di
Indonesia, kata Zulaimah, bahan aktif Hidrokuinon sangat dibatasi
penggunaannya. Bahan aktif tersebut, hanya diizinkan digunakan dalam kadar yang
sangat sedikit, dalam bahan kosmetik pewarna rambut dan cat kuku atau kitek.
Untuk pewarna rambut, maksimal kadar hidrokuinon hanya 0,3 persen sedangkan
untuk cat kuku hanya 0,02 persen. ''Sedangkan untuk krim kulit, sama sekali tidak
boleh digunakan,'' jelasnya.
Ia
mengakui, di masa lalu zat aktif hidrokuinin ini memang banyak digunakan untuk
bahan baku krim pemutih atau pencerah hulit. Namun setelah banyak kasus warga
yang mengeluh terjadinya iritasi dan rasa terbakar pada kulit akibat pemakaian
zat hidrokuinon dalam krim pemutih ini, maka penggunaan hidrokuinon dibatasi.
''Pemakaian
jangka panjang bisa menyebabkan pigmen kulit yang terpapar zat ini menjadi
mati. Bahkan, setelah sel pigmen mati, kulit bisa berubah menjadi biru kehitam-hitaman,''
ujarnya menjelaskan.
Sementara
mengenai adanya obat antibiotik dan deksametason yang ikut disita, Zulaimah
menyebutkan masih belum tahu penggunaan obat ini. Obat-obatan tersebut,
mestinya merupakan obat oral atau yang dikonsumsi dengan cara minum. Selain
itu, penggunaannya juga dibatasi karena merupakan golongan obat keras.
''Karena
itu, kami masih belum tahu untuk apa obat-obatan itu. Kita masih melakukan
pengujian, apakah obat-obatan tersebut digunakan sebagai campuran krim tersebut
atau tidak,'' katanya.
Petugas
BPOM sebelumnya menyita ribuan kemasan krim pemutih kulit di salah satu rumah
di perumahan Permata Hijau yang merupakan komplek perumahan elite di Kota
Purwokerto. Di rumah yang diduga menjadi rumah tempat pembuatan krim kosmetik,
petugas dari BPOM juga menemukan berbagai bahan baku pembuatan krim.
Penggerebekan
rumah produksi krim kecantikan itu, dilakukan karena rumah produksi tersebut
belum memiliki izin produksi dari BPOM. Sementara penggunaan bahan baku
kosmetik harus mendapat pengawasan ketat, karena penggunaan bahan baku yang
tidak semestinya bisa membahayakan konsumen.
Penggerebekan
dilakukan, setelah petugas BPOM mendapat banyak keluhan dari konsumen yang
mengaku kulitnya terasa terbakar dan mengalami iritasi setelah menggunakan krim
yang dibeli dari salon kecantikan. Setelah dilakukan pengusutan, ternyata krim
tersebut diperoleh dari rumah produksi di Purwokerto.
Zulaimah
menyebutkan, krim pemutih hasil produksi warga Purwokerto ini, dijual ke klinik
klinik dan salon kecantikan di seluruh wilayah Tanah Air. "Dari hasil
catatan transaksi yang kita peroleh, krim pemutih itu banyak dijual di
Semarang, Banyumas, Bali, Jabodetabek dan terbesar di Jabar hingga Bandung,''
jelasnya.
Ia
menyebutkan, pemilik rumah produksi yang berinisial S, sudah dalam pengawasan
petugas BPOM. ''Mulai besok akan kami periksa. Bukan tidak mungkin nantinya
akan ada tersangkalain dalam kasus ini,'' jelasnya. Ditambahkannya, pelanggaran
dalam bidang POM, sesuai UU No 35 tahun 2009 bisa dikenai sanksi pidana
maksimal 15 tahun atau denda Rp 1,5 miliar.
Analisis:
dalam kasus ini rumah produksi yang membuat kosmetik tersebut sudah jelas melanggar etika dan Undang- undang yang berlaku. Rumah produksi tersebut tidak memiliki ijin untuk beroperasi. Ditambah lagi produk yang mereka buat dalam hal ini kosmetik, menggunakan bahan baku yang sangat berbahaya bagi para konsumen. Banyak aturan yang telah dilanggar oleh rumah produksi ini seperti UU perlindungan konsumen dan UU penggunaan bahan kimia berbahaya.
Sumber:
1. http://kyacizz.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html
2. http://sprintal-sprintul-ita.blogspot.com/2012/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html
3. https://www.facebook.com/notes/ridwan-handoyo/belajar-dari-kasus-iklan-klinik-tong-fang/10151128601655546
Tidak ada komentar:
Posting Komentar